Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila Melalui Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan

Oleh:

Dr. H. Srie Muldrianto, M.Pd.*

DI era VUCA atau Volatility (volatilitas), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleksitas), dan Ambiguity (ambiguitas) ini, sinisme terhadap Pancasila mulai mengemuka.

Di antara mereka mempertanyakan adakah Pancasila? Hal ini tak dapat dianggap remeh sebab kalau dibiarkan bisa menjadi bola liar yang ujung-ujungnya akan berdampak pada apatisme terhadap Pancasila.

Sinisme terhadap Pancasila bukan tidak beralasan sebagaimana istilah tidak ada asap kalau tidak ada api. Tetapi bukan berarti sinisme itu benar. Ideologi dan pandangan dunia tidak identik dengan penganut ideologi.

Banyak juga yang mengaku beragama tapi tidak mencerminkan perilaku orang beragama. Hal ini bukan berarti tidak ada agama? Tetapi memang agama tidak dapat dibandingkan dengan Pancasila karena bukan bandingannya.

Agama seperti Islam memiliki sosok idola yang dijamin kebenarannya baik pikiran maupun perilakunya sebagai satu-satunya penafsir yang pasti benar yaitu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sosok manusia Pancasila?

Inilah yang harus disadari oleh kita semua, sejatinya para pemimpin dapat menjadi suri teladan bagi terwujudnya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepala negara dan kepala pemerintahan mengemban tugas berat ini.

Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016 terkait Hari Lahir Pancasila menetapkan bahwa 1 Juni 2016 sebagai hari lahirnya Pancasila, kedua, 1 Juni merupakan hari libur nasional dan ketiga, pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni.

Kepres No. 24 menunjukkan pentingnya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air, di lain pihak pelanggaran moral dan hukum oleh aparat pemerintah, politisi, dan warga bangsa membuat sebagian orang apatis terhadap Pancasila.

Pancasila hanya dijadikan simbol dan artistik hiburan di ruang publik padahal kenyataannya nol. Begitu kira-kira kekecewaan sebagian orang.

Oleh karena itu pentingnya upaya yang terus menerus dan berkelanjutan agar Pancasila hidup dan hadir di ruang publik sehingga semua merasakan keberadaannya.

Sejatinya Pancasila dijadikan sebagai skenario atau peta jalan menuju Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu perlunya upaya untuk terus menghidupkan Pancasila agar tetap eksis dan ada dalam pikiran, sikap, dan perilaku para pemimpin dan seluruh warga negara Indonesia.

Ada dua cara dalam menghadirkan Pancasila, yang pertama memerlukan proses yang panjang dan bertahap serta berkelanjutan (strategik) dan yang kedua tindakan teknis dan cepat agar Pancasila segera dirasakan kehadirannya.

Cara yang pertama memerlukan strategi dan langkah-langkah terukur yaitu perlunya memperhatikan fitrah dan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia memiliki tiga kodrat yaitu selalu menginginkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Pembahasan Pancasila dari ketiga dimensi ini sangat penting sebab walau bagaimanapun Jika kebenaran, kebaikan, dan keindahan Pancasila dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia maka eksistensi Pancasila tidak dapat digoyahkan.

Kebenaran adalah sesuatu yang sifatnya teoritis dan konseptual. Kodrat dapat tumbuh dan berkembang jika didukung oleh situasi dan kondisi. Oleh karena itu pentingnya Pancasila kita bedah sisi kebenarannya.

Baca juga:  Tim PKM-RSH UPI Lakukan Penelitian Motion Grafis dan Empati pada Anak Usia Prasekolah

Kebenaran dapat dibahas lewat tiga pendekatan yaitu Ilmu Pengetahuan, Filsafat, juga Agama. Pembahasan filsafat secara ilmiah dapat meminimalisir penyimpangan Pancasila.

Paling tidak untuk membahas nilai-nilai Pancasila dapat diukur oleh kebenaran faktual atau berdasarkan fakta dan kebenaran secara logika, juga kebenaran dari perspektif sejarah.

Kebenaran dari perspektif faktual atau kebenaran empiris yaitu membahas kebenaran berdasarkan fakta dan data yang ada. Untuk membahas fakta dan data itu ranahnya Ilmu Pengetahuan.
Sedangkan kebenaran dari perspektif logika adalah berdasarkan argumentasi.

Apakah pernyataan atau suatu kesimpulan yang diambil, baik oleh kepala negara atau pejabat negara berbasis logika dan bersifat rasional? Jika keputusan atau kebijakan yang diambil berbasis logika dan bersifat rasional maka keputusan dan kebijakan tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Pembahasan ukuran kebenaran ini lebih bersifat abstrak yang dipelajari oleh Filsafat. Oleh karena itu kajian filsafat merupakan kajian penting dalam mempelajari Pancasila. Kebenaran dari perspektif sejarah artinya apakah yang ada dalam Pancasila sesuai dengan sejarah, budaya, tradisi bangsa Indonsia?

Misalnya apakah sila-sila yang ada dalam Pancasila itu mengandung nilai historis atau ahistoris? Apakah orang Indonesia itu ber-Tuhan? Berkemanusiaan? Berkeadilan? Beradab? Apakah memiliki demokrasi permusyawaratan? Dan lain-lain dan apa bukti sejarahnya?

Konsep kebenaran Pancasila perlu menjadi pembahasan akademisi, khususnya akademisi yang bergelut dengan Pancasila baik guru, dosen, maupun mahasiswa.

Mengapa? Sebab kalau tidak Pancasila dapat digunakan untuk kepentingan politik secara sesaat dan ini akan membahayakan eksistensi Pancasila, baik sebagai ideologi politik, negara, maupun sebagai falsafah kebudayaan bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai ilmu atau sebagai konsep filsafat dapat mencegah politisasi Pancasila untuk kepentingan politik praktis dan sesaat. Kajian Pancasila sebagai Ilmu atau Filsafat dapat memberikan keyakinan bahwa Pancasila memiliki standar dan mutu yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Agar upaya menemukan kebenaran Pancasila berjalan mulus perlunya dibangun budaya cinta kebenaran atau cinta Ilmu. Menyiapkan generasi muda untuk memiliki literasi baik baca tulis, numerasi, maupun digital dapat mendorong generasi muda untuk terbiasa berpikir, sehingga kritis, kreatif dan inovatif.

Tanpa ini agak sulit membumikan Pancasila secara obyektif dan terukur. Budaya berpikir menjadi kata kunci agar generasi muda dapat mengembangkan Pancasila sebagai sebuah ilmu atau filsafat yang logis, sistematis, dan faktual serta memiliki nilai historis.

Pendekatan internalisasi nilai-nilai Pancasila lewat kebaikan didekati melalui kajian etika. Etika terkait filsafat moral atau terkait mengapa sesuatu itu dikatakan baik atau buruk. Teori etika banyak dibahas oleh para filosof seperti teori virtue, deontologi, dan utilitarianisme dan lain-lain.

Kebaikan berbeda dengan kebenaran. Kebaikan lebih bersifat praktis. Jika Pancasila dikatakan baik berati seluruh nilai dari mulai sila pertama hingga kelima harus dapat dirasakan kehadirannya dan berdampak positif bagi rakyat Indonesia.

Baca juga:  SDIT Cendekia Gelar Workshop Kurikulum Merdeka

Teori etika apapun yang digunakan sejatinya dari sisi nilai-nilai Pancasila harus dapat digali dan dapat dipertanggungjawabkan argumentasinya.

Pancasila sebagai Falsafah politik dan ekonomi sering kita dengar tetapi membahas Pancasila sebagai falsafah kebudayaan jarang kita bahas. Padahal baik politik maupun ekonomi adalah bagian dari kebudayaan.

Ir. Sukarno mengakui bahwa dia bukanlah pencipta Pancasila. Dia hanya menggali Pancasila dari bumi pertiwi. Menggali nilai-nilai kebudayaan yang ada di Indonesia. Nilai-nilai kebudayaan tersebut mungkin saja berasal asli dari bumi pertiwi atau mungkin saja dipengaruhi oleh nilai-nilai yang datang dari luar negri yang sudah mengalami pribumisasi.

Pancasila sebagai sistem politik, sebagai ideologi, atau sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara akan berbeda dengan sebagai falsafah kebudayaan.

Ir. Sukarno pada awalnya pernah mengusung ”Ketuhanan yang berkebudayaan” artinya Ketuhanan mengejawantah pada perilaku atau budaya Indonesia. Istilah ini hampir mirip dengan definisi iman dan takwa. Iman lebih bersifat teoritis sedangkan takwa adalah bukti dari iman.

Sejatinya orang beriman itu bertakwa tapi pada kenyataannya banyak orang yang mengaku beriman tetapi tidak mengamalkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang beragama tetapi lebih pada aspek ritual sebagaimana terdapat dalam surat al Maun.

Menurut Clifford Geertz, Pancasila itu adalah sistem pemaknaan yang dinisbahkan sebagai jantung kebudayaan. Oleh karena itu sebagai jantung, Pancasila harus dapat menggerakkan atau memompa semangat juang agar Indonesia menjadi lebih baik menuju Indonesia emas 2045.

Benar saja tidak cukup tetapi juga harus berdampak secara praktis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dulu ketika awal merdeka sistem politik kita berubah-ubah mulai dari sistem parlementar, presidensial, demokrasi terpimpim dengan Manipol/USDEK-nya.

Manipol merupakan akronim dari Manifesto Politik, yaitu, pidato Presiden Soekarno berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang dibacakan pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-14 tanggal 17 Agustus 1959.

Adapun USDEK adalah Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.

Kemudian, memasuki orde baru mengalami pergeseran Pancasila mulai diseragamkan dengan dibentuknya P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila). Perubahan penafsiran dari masa ke masa belum didasarkan pada kepentingan kebangsaan tetapi lebih pada kepentingan politik tertentu.

Oleh karena itu sudah saatnya Pancasila dibahas secara ilmiah dan logis. Pancasila sebagai Ilmu perlu mendapat perhatian khusus.
Salah satu ciri Ilmu adalah bersifat Objektif.

Objektif artinya sesuai dengan fakta, jadi menggali nilai-nilai budaya bangsa Indonesia merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Nah, terkait ini Sukarno dengan segenap founding father bangsa Indonesia telah menggali dan menemukan bahwa secara historis bangsa Indonesia memiliki lima karakter.

Kelima karakter ini adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Baca juga:  Transformasi Pendidikan Ala Nadiem Makarim

Jika saja seluruh rakyat merasakan kebaikan dari kehadiran Pancasila tentunya keberadaan Pancasila dapat dipertahankan. Kebenaran dan kebaikan Pancasila dapat menjadi tolak ukur bahwa Pancasila dapat terus hidup dan eksis sebagai sebuah ideologi, pandangan dunia dan sebagai falsafah kebudayaan.

Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi inspirasi bagi sila-sila di bawahnya. Ada istilah dalam kajian tasawuf bahwa “takholaku bi khuluqillah (berakhlaqlah dengan akhlaq Allah!). Akhlak Allah yang utama yaitu rahman dan rahim, adil, beradab, dan saling tolong menolong dan lain-lain.

Humanisme Pancasila berbeda dengan humanisme kapitalis dan komunis yang berbasis pada eksklusivisme. Humanisme kapitalis sangat mengagungkan kemerdekaan individu sehingga kadang menyingkirkan gotong royong.

Humanisme komunis kadang melupakan keadilan dan mementingkan kaum buruh sehingga hilanglah harmoni dalam kehidupan. Humanisme Pancasila berbasis semangat keadilan dan gotong royong.

Humanisme Pancasila berbasiskan demokrasi permusyawaratan untuk mufakat, jadi tidak ada tyrani mayoritas atas minoritas. Humanisme Pancasila adalah humanisme berketuhanan bukan sekular atau materialisme.

Pendekatan ketiga adalah keindahan. Keindahan menjadi penting digunakan dalam mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila. Benar dan baik tidak cukup tapi perlu membahas dengan indah. Memahami Pancasila dengan ilmu, filsafat, etika tak cukup tapi memerlukan pembahasan estetika.

Seni sebagai sebuah pengetahuan dapat memperkaya cara kita untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila. Tujuan pembelajaran seni sejatinya agar pelajar atau peserta didik dapat menikmati, memahami keindahan. Memahami keindahan sangat penting karena keindahan dapat menjadikan kita penuh cinta.

Cinta sesungguhnya dapat menjadi tali penghubung antar berbagai sila sebagaimana ada dalam budaya orang sunda ”silih asah, silih asih, dan silih asuh”. Silih asah terkait kebenaran yang dibahas argumentasi ilmiah dan filosofis, silih asih adalah bukti bahwa dasar perbuatan adalah cinta.

Cintalah yang menjadikan kita melakukan sesuatu. Cinta tumbuh dapat berasal dari cita rasa keindahan, dan silih asuh menunjukan aspek perbuatan atau kebaikan.

Cinta dibutuhkan karena dengan cinta kebenaran dan kebaikan dapat mewujud menjadi sebuah karya atau tindakan. Kekuatan cinta dibangun atas kesadaran. Olehkarena itu sejatinya seni dapat dijadikan alat untuk menginternalisasi nilai-nilai Pancasila.

Tindakan kedua agar Pancasila dengan segera dirasakan kehadirannya adalah penegakan hukum. Penegakkan hukum dapat dilakukan dengan tiga tahap preemtif, preventif, dan refresif.

Preemtif adalah tindakan pencegahan seperti pada saat perencanaan. Tindakan preemtif juga dapat berupa kebijakan lewat propaganda dan promosi melalui berbagai cara dan media. Kedua tindakan preventif yaitu upaya pencegahan, Sedangkan tindakan refresif dilakukan ketika ada pelanggaraan. Salah satu contoh tindakan refresif adalah pembubaran HTI dan lain-lain. (*)

*) Pembinaan Ideologi Pancasila pada peringatan Hari Lahir Pancasila bagi para pemuda dan pemudi yang dihadiri mahasiswa dan pelajar se-Purwakarta di Gedung Bale Maya Datar Kompleks Pemda Kabupaten Purwakarta, pada tanggal 1 Juni 2024.