Agama yang Saintifik dan Saintifik yang Agama

Oleh:

Dr. Srie Muldrianto, M.Pd.*

PERKEMBANGAN sains dan teknologi telah memacu kita untuk lebih kritis. Kritik yang sekarang sering muncul adalah terkait agama, baik terkait subjek, media, metode maupun objek kajian agama.

Sebagian kritik dapat dianggap wajar dan bahkan mencerahkan, tetapi sebagian lagi lebih bersifat tendensius dan cenderung melemahkan pranata keagamaan dan melecehkan agama.

Kritik yang kritis sejatinya menjadikan agama lebih mendapatkan tempat di hati manusia sehingga dapat dijalankan lebih ikhlas dan benar-benar menjadi sandaran bagi kehidupan manusia.

Lahirnya ilmu pengetahuan di Barat seolah betul-betul dipercaya dapat menjadi solusi bagi kehidupan manusia, tetapi faktanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadikan Barat sombong dan biadab serta merusak tatanan hidup manusia.

Penjajahan yang dilakukan Barat seperti yang dilakukan Inggris, Perancis, Portugis, Belanda dan Amerika telah mengorbankan ratusan juta korban manusia seperti di Jepang, benua Afrika, juga termasuk di negara kita.

Baca juga:  Indonesia Darurat Sampah, Dosen UNJ Ajak Karang Taruna Terapkan Zero Waste

Hingga kini mereka membuat kerusakan di muka bumi seperti di Palestina, di Irak, Afganistan, Suria, Libya, dan lain-lain.

Sebenarnya kalau kita mau jujur, ilmu pengetahuan pun telah berdampak buruk bagi kehidupan manusia, bukan saja Agama. Tetapi para kritikus lupa bahwa di samping agama telah dimanipulir untuk kepentingan politik, begitu pun dengan ilmu pengetahuan. Tapi mengapa mereka diam?

Sejatinya baik agama maupun ilmu pengetahuan adalah dua hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia agar hidup lebih harmoni dan berkelanjutan. Sering orang lupa bahwa agama juga berperan dalam ilmu pengetahuan begitupun ilmu pengetahuan berperan bagi kemajuan agama.

Baca juga:  Pengabdian pada Masyarakat di Cisaat Subang, Dosen UNJ Ajak Warga Wujudkan Rumah Ramah Lingkungan

Selain agama bisa dikritik ilmu pengetahuan pun bisa. Contohnya sebagai berikut:

Sering orang menduga bahwa ilmu pengetahuan dihasilkan hanya melalui metode ilmiah yaitu berdasarkan temuan empirik padahal faktanya banyak teori dan temuan ilmu pengetahuan ditemukan lewat intuisi, imajinasi, seni, mimpi, dan juga berasal dari agama baik lewat mimpi maupun kitab suci.

Michael Faraday penemu gelombang elektro magnetik ditemukan lewat mimpi, Tabel Periodik Unsur Kimia oleh Dmitri Mendeleev juga ratusan gagasan matematika Srinivasa Ramanujan ditemukan lewat mimpi, bahkan Srinivasa mengakui bahwa penemuannya ditemukan, ketika dia bermimpi melalui dewa dan dewi.

Dalam Islam kita pun mengenal Ilmuan Prof. Abdus Salam pemenang hadiah Nobel di bidang fisika terinspirasi oleh Alquran (Sains Religius dan Agama saintifik, Bagir H, 2020: 48).

Baca juga:  IOH dan Quipper Salurkan Bantuan Pendidikan untuk Anak-anak Korban Gempa Cianjur

Begitupun temuan-temuan kajian keilmuan yang dilakukan para filosof dan ilmuan islam lainnya didapat melalui perenungan, kontemplasi ketika mereka beribadah sholat sunah dan melalui ibadah ritual lainnya.

Jadi dalam ilmu pengetahuan dan agama tak melulu logis, empirik, juga pragmatis tapi juga ada imajinasi dan intuisi.

Paling tidak ada dua hal yang perlu kita ketahui bahwa dalam ilmu pengetahuan ada contex of discovery dan contex of justification.

Jika temuan tabel periodik unsur kimia dan matematikanya Srinivasa diuji coba ternyata memiliki kegunaan ilmiah dan dapat dibuktikan secara empirik walaupun caranya tidak ilmiah. (*)

*)Dosen Universitas Islam Dr. K.H. E.Z. Muttaqien Purwakarta, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Purwakarta dan Aktivis Pendidikan dan Cinta Tanah Air