IDEANEWSID. Pergantian tahun dari 2024 ke 2025 menjadi momentum ironis bagi rakyat Indonesia.
Betapa tidak, di tengah euforia tahun baru yang seharusnya membawa harapan, pemerintah justru memberikan “hadiah pahit” berupa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dari 11 persen menjadi 12 persen.
Demikian disampaikan Koordinator Wilayah (Korwil) Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), Respati Hadinata dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang resmi mengumumkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2025.
“Kebijakan ini tidak hanya membebani rakyat kecil, tapi juga berpotensi melanggar prinsip-prinsip konstitusi yang menjunjung tinggi keadilan sosial dan keberpihakan kepada rakyat,” kata Respati saat dikonfirmasi melalui gawainya, Selasa (31/12/2024).
Respati yang juga menjabat sebagai Presiden Mahasiswa Politeknik Negeri Batam ini mengungkapkan kajian hukum atas pelanggaran prinsip konstitusional dalam kebijakan fiskal.
Kajian Hukum Pelanggaran Prinsip Konstitusional
Di antaranya, Pasal 23A UUD 1945, yakni Pajak Harus Berdasarkan Undang-Undang. Dalam pasal itu disebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur berdasarkan undang-undang.
“Akan tetapi, implementasi kenaikan PPN ini tidak memperhatikan azas keadilan dan progresivitas yang seharusnya menjadi dasar dalam setiap kebijakan fiskal,” ujar Respati.
Kemudian, Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 tentang Prinsip Keadilan dan Kesejahteraan. Pasal ini menegaskan bahwa perekonomian diselenggarakan berdasarkan azas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, efisiensi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
“Sebagai pajak regresif, PPN berdampak lebih besar pada masyarakat miskin dibandingkan pada kelompok kaya, sehingga mencederai prinsip keadilan dan keberlanjutan yang diamanatkan konstitusi,” ucapnya.
Selanjutnya, Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945, terkait Hak atas Kesejahteraan. “Pasal ini menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas kesejahteraan sosial, termasuk akses terhadap kebutuhan dasar,” kata Respati.
Kenaikan PPN ini, kata dia, akan meningkatkan harga barang dan jasa. “Hal ini langsung berdampak pada berkurangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Ini jelas melanggar hak konstitusional,” ujarnya.
Dampak Kenaikan PPN
Respati pun merinci beberapa dampak kenaikan PPN di berbagai sektor. Pertama, rakyat kecil menjadi korban utama kebijakan regresif. Pasalnya, pajak ini berlaku untuk semua lapisan masyarakat.
“Kenaikan PPN akan lebih membebani rakyat kecil yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk konsumsi kebutuhan pokok,” ucap Respati.
Adapun dampaknya akan langsung terlihat pada penurunan daya beli masyarakat yang semakin memperparah kesenjangan sosial.
Kedua, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai pilar ekonomi yang dikorbankan. UMKM yang menyumbang lebih dari 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, akan terpukul akibat kenaikan biaya produksi dan operasional.
“Alih-alih memperkuat sektor ini sebagai tulang punggung perekonomian, kebijakan ini justru mengancam keberlanjutannya,” kata Respati.
Ketiga, pendidikan dan kesehatan sebagai hak dasar yang semakin mahal.
Kenaikan PPN juga, akan berdampak pada sektor pendidikan dan kesehatan.
“Kebutuhan seperti buku, alat tulis dan peralatan kesehatan tidak luput dari dampak kenaikan pajak, sehingga mempersempit akses masyarakat terhadap hak-hak dasar yang seharusnya dijamin negara,” ujarnya.
Keempat, industri dan konsumen yang berpotensi menimbulkan efek domino yang menggerus daya saing. Misalnya,
dalam sektor industri, kenaikan PPN memicu peningkatan biaya produksi yang diteruskan ke harga jual.
“Akibatnya, daya saing produk dalam negeri menurun, baik di pasar lokal maupun internasional, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional,” ucap Respati.
Ironi Tahun Baru: Momentum Harapan yang Dikhianati
Kenaikan PPN 12 persen di awal 2025 adalah bukti nyata bahwa pemerintah memilih jalan pintas dalam meningkatkan penerimaan negara tanpa mempertimbangkan dampaknya pada rakyat kecil.
“Retorika tentang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk membenarkan kebijakan ini, terutama ketika transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran masih diragukan,” kata Respati tegas.
Disebutkannya, alih-alih memberlakukan kebijakan yang progresif seperti peningkatan pajak korporasi besar atau pemberantasan penghindaran pajak, pemerintah justru memilih untuk menekan rakyat kecil.
“Kebijakan ini mencerminkan lemahnya keberpihakan terhadap asas keadilan sosial yang menjadi dasar negara kita,” ujarnya.
Refleksi untuk Pemerintah: Keadilan Bukan Retorika
Pergantian tahun, lanjut dia, seharusnya menjadi momen refleksi untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
“Akan tetapi, kenaikan PPN ini menunjukkan pemerintah lebih memilih pendekatan instan yang merugikan kelompok rentan,” ucapnya.
Prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan, kata dia, seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945, seolah hanya menjadi teks tanpa implementasi nyata.
“Rakyat berhak atas kebijakan yang transparan, adil dan berpihak pada kesejahteraan. Jika pemerintah terus melupakan tanggung jawab konstitusionalnya, maka optimisme tahun baru hanyalah ilusi bagi rakyat kecil,” kata Respati menutup. (Red)